Puncak
Gunung Raung saat dipantau di Pos Pemantauan Raung di Desa Sumberarum,
Kecamatan Songgon, Banyuwangi, terlihat tertutup awan tebal pada Selasa
(23/10/2012). Gunung Raung sejak Senin (22/10/2012) lalu berstatus
Siaga.
KOMPAS
- Pukul 04.43, Kamis (1/11/2012), ada pesan singkat dari Kepala Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono. Isinya, gambar anomali
suhu Gunung Raung di Banyuwangi, Jawa Timur. Pesan berikutnya, ”Saya
nggak tidur. Hari ini langsung dari Bandung ke
Surabaya-Banyuwangi-Raung.” Sebegitu kritiskah Gunung Raung?
Saya
tidak ingin sejarah buruk masa lalu Raung berulang,” kata Surono.
Gunung Raung mungkin tak sepopuler Gunung Merapi di Yogyakarta ataupun
Kelud di Kediri. Namun, gunung api berketinggian 3.332 meter dari
permukaan laut ini sebenarnya memiliki jejak penghancuran dahsyat.
Sejak
dinaikkan statusnya menjadi Siaga pada 22 Oktober 2012, kawah Raung
terus menyemburkan asap dan mengeluarkan suara gemuruh. Kepala Bidang
Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api dari Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Hindrasto mengatakan, erupsi Raung saat
ini masih berupa letupan gas, ditandai asap tebal berwarna kehitaman.
Asap hitam itu muncul pada Senin (29/10/2012). Menurut Hindrasto, erupsi
kecil hanya berdampak di sekitar kawah, 3 kilometer dari puncak Raung.
Karena
itu, warga yang jarak tempat tinggalnya dari kawah sekitar 8 km belum
diungsikan. ”Untung saja kawah Raung cukup dalam, 500 meter, sehingga
letusannya tidak sampai ke luar kawah,” kata Surono.
Namun,
Surono memperhitungkan yang terburuk. Gunung Raung, menurut Surono,
mempunyai sejarah letusan dahsyat sehingga perlu diwaspadai. Letusan
Raung pada 1953 menyebarkan hujan abu dalam radius 200 km. Raung juga
melontarkan material berupa pasir dan batu panas setinggi 12 km pada
1958. Untuk memperkuat pemantauan Raung, PVMBG menambah empat alat
pantau, yakni dua global positioning system (GPS) dan seismobroadband.
”Debris avalanches”
Berdasarkan
Data Dasar Gunung Api Indonesia (2011), Raung tercatat meletus pertama
kali pada 1586. Disebutkan, letusan tahun itu sangat dahsyat dan
menimbulkan korban jiwa. Namun, tidak disebutkan berapa banyak
korbannya.
Pada 1638, Raung kembali meletus hebat disertai banjir
besar dan aliran lahar melanda Kali Stail dan Kali Klatak. Korban jiwa
mencapai ribuan orang. Saat itu, di kawasan tersebut berdiri Kerajaan
Macan Putih di bawah Pangeran Tawangulun. Hingga 1989, terjadi 43
letusan di Gunung Raung.
Geolog dari Museum Geologi Bandung,
Indyo Pratomo, mengatakan, Raung memiliki jejak debris avalanches,
bahaya lain dari gunung api selain awan panas dan banjir lahar hujan,
sebagaimana terjadi di Gunung Galunggung, Jawa Barat. Debris avalanches
merupakan produk dari longsornya sebagian tubuh gunung api, terutama
karena aktivitas magmatik. Sumbat yang terlalu kuat di puncak gunung
menyebabkan magma menjebol sisi lemah di lereng gunung dan melontarkan
hingga jauh, membentuk sekelompok bukit kecil (hillocks).
Debris
avalanches tak mesti terkait erupsi. Hujan deras atau gempa regional
juga dapat memicu longsoran raksasa di lereng gunung api. ”Debris
avalanches di Raung karena erupsi yang eksplosif seperti terjadi di
Galunggung dan letusan St Hellen, AS, pada 1980,” kata Indyo.
Debris
avalanches di Raung yang mencapai 78 km dari kawah merupakan yang
terbesar di Indonesia. ”Kalau longsorannya karena hujan atau erupsi
freatik, biasanya tak terlalu jauh jangkauannya, seperti Gunung
Papandayan,” katanya.
Indyo juga mengatakan, Gunung Raung
merupakan bagian dari sistem kaldera raksasa purba. ”Raung berada di
pinggir dari sistem kaldera ini,” katanya. Selain Raung, beberapa gunung
api aktif lain yang juga berada di pinggir sistem kaldera ini adalah
Ijen, Merapi, dan Meranti. ”Sayangnya, pengetahuan kita tentang kawasan
kaldera ini masih sedikit,” katanya. ”Namun, melihat karakter gunungnya,
letusannya pada masa lalu pasti hebat.”
Mengubur peradaban
Kehebatan
letusan Raung pada masa lalu dicatat oleh Sri Margana, sejarawan dari
Universitas Gadjah Mada. Menurut dia, letusan Raung pada abad ke-18
menyebabkan sisa peradaban Kerajaan Blambangan di Macan Putih, Kabupaten
Banyuwangi, dan di Kedawung, Kabupaten Jember, ikut terkubur.
”Peninggalan
kerajaan diperkirakan terkubur oleh abu vulkanik Raung dari dua kali
letusan. Pada 2010 kami menemukan fondasi bangunan kerajaan, gerabah,
tombak, keramik, uang receh, dan sebagainya, terpendam sedalam 1,5 meter
di Desa Macan Putih. Hingga kini masih banyak yang belum digali,” kata
penulis buku Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan 1763-1813 itu.
Di
antara deretan gunung yang mengelilingi Banyuwangi, yakni Ijen, Merapi,
Meranti, dan Raung, Gunung Raung merupakan gunung yang paling dianggap
sakral oleh masyarakat Banyuwangi pada masa lalu, dibandingkan Ijen,
Merapi, dan Meranti.
Menurut Margana, para penguasa di kerajaan
pra-Kerajaan Blambangan sudah menjadikan Gunung Raung sebagai pusat
pemujaan. Salah satu indikasinya, ditemukan sejumlah peninggalan tempat
persembahyangan umat Hindu yang diperkirakan dibangun pada abad ke-17
hingga abad ke-18. Di antaranya ada di Kecamatan Songgon dan Sempu,
Banyuwangi.
Petilasan di Desa Jambewangi, Kecamatan Banyuwangi,
misalnya, hingga kini masih ada dan dirawat oleh warga setempat.
Petilasan itu berbentuk tumpukan batu dan berlingga menghadap ke Gunung
Raung. Petilasan tersebut kini masih digunakan oleh warga Hindu untuk
bersembahyang.
Ingatan yang terputus
Riwayat
mengerikan Raung pada masa lalu tidak lagi dimengerti secara utuh oleh
warga yang hidup di kaki gunung ini. Warga di Kecamatan Songgon,
Banyuwangi, yang berada 14 km dari Gunung Raung memang resah karena
mencium bau belerang dan mendengar suara gemuruh dari Raung sejak
beberapa hari terakhir.
Rosan (56), warga Desa Jajangan,
Kecamatan Songgon, mengepak sebagian pakaiannya sejak pekan lalu. Proses
belajar-mengajar di SD di Kecamatan Songgon pun terganggu karena
orangtua khawatir melepas anak-anak mereka ke sekolah.
Meski
khawatir, sebagian besar warga masih bekerja di ladang. Sebagian dari
mereka memetik selada, mencari rumput, kayu bakar, atau memanen cengkeh.
Warga saat ini tidak mewarisi ingatan Raung yang mematikan, tetapi
jejak Raung yang mematikan tidak boleh diabaikan.
0 komentar:
Posting Komentar